Dia
menggoda. Sangat. Entah mengapa baru sekarang aku bisa menikmati ciptaan Tuhan yang
satu ini. Ke mana saja aku selama ini? Ada sedikit penyesalan kenapa tidak
sejak dulu aku mengenal dia. Jangan tanya. Aku tidak tahu. Sumpah.
Perkenalan
kami berlangsung begitu saja. Tak terencana sedikit pun. Seorang sahabat,
Bagas, mengenalkannya padaku. Minggu pagi, aku kebetulan mengunjungi tempat kos
Bagas. Sahabatku itu, sedang bersantai ditemani dia. Merasa perlu berlaku sebagai
tuan rumah yang baik, Bagas mengenalkan kami. Sejak saat itu, aku jatuh cinta
pada dia. Ya, seperti ungkapan abege,
jatuh cinta pada pandangan pertama.
Peristiwa
penting itu, sudah berlangsung beberapa tahun lalu, saat awal aku kuliah dulu.
Sejak
saat itu, hari-hariku pun mulai diisi dengan kehadirannya. Dia selalu ada
untukku. Pagi, siang, sore. Dia selalu hadir untuk menyemangatiku. Dia selalu
ada dalam berbagai suasana. Bahagia, sedih, galau.
KOPI. It becomes my mood booster recently.
Seperti
siang ini, tiba-tiba saja mood-ku
amburadul parah. Semua gara-gara aku baru dapat laporan kalau program andalan
di radio tempatku bekerja mengalami kekacauan. Tinggal tunggu waktu sampai aku
kena semprot bos besar.
Kalau
sudah begini, biasanya satu-satunya hal yang aku lakukan adalah menyendiri
sejenak sambil menikmati secangkir kopi. Selain supaya pikiranku lebih tenang,
juga menghindari ada seseorang yang menjadi sasaran kekesalanku. Sebelum menyesap,
aku menikmati aroma kopi yang menyeruak masuk ke rongga paru-paru. Terjadi sensasi
yang luar biasa! Secara ajaib, mood-ku
perlahan normal.
Telepon
di meja kerjaku berdering. Terdengar suara berat milik Pak Kennedi di seberang
sana. Bos besarku itu, memintaku untuk datang ke ruangannya. Dan beruntung aku
sudah siap tempur menghadapi pak Kennedi. Terima kasih, kopi.
Aku,
Samuel Hadi. Seorang creative programmer
di sebuah radio swasta yang terkenal di kota ini. Pekerjaan yang menuntutku
untuk selalu kreatif. Aku harus mempunyai stok ide-ide baru dan segar untuk program
radio yang aku handle. Kedai kopi
menjadi tempat favoritku untuk menggali ide. Kebetulan stasiun radioku khusus
bagi kawula muda. Namanya Gaudiamo. Aku bisa dapat ide-ide segar dari ngobrol dengan
sesama pengunjung sambil menikmati secangkir kopi. Atau hanya sekedar mengamati
aktivitas para pengunjung yang sebagian besar adalah anak-anak muda.
***
Aku dan Ayah
Di
luar hujan turun sangat deras. Siapa pun yang nekat menyusuri jalan di saat
seperti ini pasti basah kuyub. Sudah enam tahun berlalu, malam hari, dan juga
hujan deras begini, aku keluar rumah dengan marah sambil membanting pintu.
“Aku
tahu, ayah memikirkan apa yang terbaik untukku. Tapi aku bukan anak kecil lagi.
Kali ini, aku tidak bisa menuruti keinginan ayah. Aku akan tetap pada pilihanku
kuliah mengambil jurusan Ilmu Komunikasi.”
“Mau
jadi apa kamu, hah!” suara ayah terdengar semakin meninggi.
“Ayah
selalu mengajarkanku agar selalu berjuang untuk mempertahankan pendapat, jika
memang pendapat itu benar. Dan menurutku, ini merupakan pilihan yang tepat, yah.”
“Ayah
tetap tidak setuju. Kamu harus menuruti kata-kata ayah. Ini semua ayah lakukan
untuk masa depanmu. Ayah membangun perusahaan ini untukmu, putra tunggal ayah!”
“Maaf.
Kali ini, Hadi tidak bisa menuruti kemauan ayah.”
“Baiklah,
kalau begitu. Kamu harus berusaha sendiri. Kamu biayai sendiri kuliahmu.”
Ibu
yang sedari tadi hanya diam, ikut terlibat dalam perdebatan antara ayah dan
aku.
“Hadi,
cobalah mengerti. Ayah begitu menyayangimu. Ayah hanya ingin yang terbaik
untukmu, nak.” Ibu mencoba membujuk.
Tapi
keinginanku sudah bulat. Malam itu, aku pergi meninggalkan rumah untuk mengejar
impianku. Tanpa restu ayah. Dan malam itu juga, untuk pertama kalinya aku
menentang ayah. Ibu menangis mengiringi kepergianku. Ayah memarahi ibu yang masih
berusaha menahanku.
“Biarkan
saja, dia pergi.”
***
Tanpa
sepengetahuan ayah, ibu sesekali mengunjungiku. Bahkan membantuku mengatasi
masalah keuangan. Meskipun tak jarang pula aku menolak kebaikan ibu. Sejak keluar
dari rumah mewah orang tuaku. Aku harus hidup mandiri dan hemat. Aku bekerja keras
untuk menghidupi diriku dan membiayai kuliah. Tak mudah memang bekerja sambil
kuliah. Tapi aku harus bertahan. Aku akan buktikan pada ayah bahwa aku tidak
salah dalam memilih masa depanku.
Usahaku
berbuah manis. Kini impianku telah menjadi kenyataan. Aku lulus kuliah dengan
nilai IPK terbaik. Ibu hadir pada acara wisuda sarjana baru. Ibu menangis haru.
Aku tahu, saat itu ibu ikut merasakan kebahagiaanku. Dan sekarang, aku bekerja
pada bidang yang memang aku sukai. Kehidupanku terasa sempurna!
Hingga
sore itu, ibu mengunjungiku dengan wajah sedih.
“Ada
apa, bu? Kenapa wajah ibu terlihat begitu sedih?”
“Pulanglah,
nak.”
“Apa
yang terjadi, bu?”
“Ibu
ingin kamu pulang dan berbaikan dengan ayahmu.”
Hening.
Aku hanya terdiam. Pikiranku melayang kemana-mana. Yang kubutuhkan sekarang
adalah secangkir kopi (lagi). Aku beranjak ke dapur untuk menyiapkan secangkir teh
untuk ibu dan kopi untukku.
Aku
menghirup dalam-dalam aroma kopi. Aku merasakan ketenangan melingkupi diriku.
“Salahkah
aku jika aku ingin mewujudkan impianku, ibu? Salahkah jika dulu aku menentang ayah
demi masa depanku. Ibu tahu kan, segala sesuatu yang dilakukan dengan terpaksa,
maka tidak akan memberikan hasil yang baik.”
“Ibu
hanya tidak ingin kamu menyesalinya kelak.”
“Salahkah
kalau sekarang aku kerja mati-matian demi uang, untuk membuktikan pada ayah
bahwa aku tetap bisa hidup tanpa harus dibayang-bayangi kekayaan ayah?”
“Ayahmu
sekarang mulai sering sakit-sakitan. Menurut diagnosa dokter, ayah terserang
kanker paru-paru. Mungkin waktu ayahmu tidak akan lama lagi. Sebelum itu
terjadi, ibu ingin keluarga kita utuh seperti dulu lagi.”
Aku
kembali terdiam, menatap ke dinding dengan hampa. Aku masih mempertahankan
egoku.
“Demi
ibu, nak.” Suara ibu terdengar seperti anak kecil yang sedang memohon dibelikan
mainan.
“Bu,
biarkan aku berpikir dulu.” Aku menyesap isi cangkir kopi. Mencari ketenangan.
“Kamu
begitu suka kopi. Tapi kamu tahu tidak, apa artinya menjadi kopi?”
Lagi
lagi aku hanya terdiam. Ya, sudah sejak lama aku begitu menyukai minuman hitam
manis ini. Namun tak pernah terpikir tentang kopi. Bagiku, kopi itu ada untuk
dinikmati. Kopi itu sumber semangatku. Itu saja.
“Telur,
kopi dan wortel. Tiga hal yang berbeda. Ketika telur dimasukkan ke dalam air
panas, telur akan menjadi sangat keras. Sedangkan wortel, jika dimasukkan ke
dalam air panas maka akan menjadi lembek. Nah, air panas itu adalah masalah. Ketika
seseorang dihadapkan pada masalah, dia menjadi keras kepala dan tidak bersedia
mendengarkan pendapat orang lain, itu adalah ketika kamu menjadi telur. Ketika masalah
menjadikanmu orang yang lembek dan justru lari dari masalah, itu adalah ketika
kamu menjadi wortel. Tapi kopi… kopi berbeda,” lanjut ibu perlahan. “Ketika
bubuk kopi dimasukkan ke dalam air panas, bubuk kopi itu akan larut dan menghasilkan
aroma yang harum, rasa yang nikmat.”
Jadilah
seperti kopi, yang ketika masalah datang, ia tidak lembek atau keras, tapi ia
bisa berpikir jernih, membawa kebaikan bukan hanya untuk dirinya sendiri,
tetapi juga bagi lingkungan di sekitar.”
Ibu
menatapku.
“Dan
tak hanya itu, walau kopi terasa pahit, namun tetap banyak orang yang menyukainya.
Cintai masalahmu, maka kamu akan mampu mengatasinya.”
“Jadilah
kopi untuk ayah dan ibu, nak.”
Aku
termenung. Nasihat ibu begitu menyentuh. Rasa marahku pada ayah menguap
seketika. Aku menyadari keegoisanku. Tak seharusnya aku seperti ini.
“Maafkan
Hadi, ayah.”
Blog post ini dibuat dalam rangka
mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory
yang diselengarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Salam
Fiksi,
~RP~
pada keren-keren nih ceritanya..
BalasHapusAwalnya ngga pengen ikutan. Ngga ada ide yang nyantol. Tapi temen2 ODOP rame ngebahas lomba ini, eh, jadi tertarik deh. Di detik2 terakhir baru dateng idenya. Untung masih ada waktu ^_^
HapusMbak Wiwid ikutan juga kah?
Widiiihhh... Mau jadi kopi ahh...
BalasHapusAyooo mbak :)
HapusBaru tahu filosofi kopi yang satu ini :D
BalasHapus