Serumpun pohon mawar putih tumbuh
subur di halaman depan. Serasi dengan rumah mungil kami yang bergaya minimalis.
Mas Rian yang menanam pohon mawar itu, tepat di hari pernikahan kami. Katanya
sebagai saksi ikrar janji suci kami. Seputih cinta kami.
Pohon mawar itu ku rawat dengan
baik. Setiap sore, aku menyiramnya. Sebagai gantinya, aku selalu mendapat
persembahan kuntum-kuntum mawar cantik. Lalu aku letakkan di kamar. Di samping
meja rias.
Pohon mawar itu selalu
memancarkan keindahannya. Tak salah memang jika bunga mawar sering diikutkan
untuk menambah suasana romantis. Tetapi tidak demikian dengan hari-hari
pernikahan aku dan mas Rian. Rumah kami seakan diselimuti awan mendung, yang
siap memuntahkan butiran-butiran hujan. Terasa kelam.
“Nit, mana sarapannya? Buruan! Aku bisa terlambat sampai kantor.” Suara mas Rian terdengar tidak nyaman di telingaku. Kemana hilangnya suara lembut khas mas Rian yang selama ini ku kenal? Dua tahun kami berpacaran, telingaku selalu diamanjakan dengan suara lembutnya yang penuh kata cinta. Namun semua lenyap begitu saja. Seperti debu tersapu angin. Tak berbekas.
Tak hanya suara kasarnya yang ku dengar. Kini, tak segan mas Rian mendaratkan tangannya di pipiku. Menyisakan tanda merah. Aku hanya bisa menangis. Mas Rian telah berubah total. Layaknya monster yang siap menyerang kapan saja. Hanya kuntum-kuntum mawar yang setia menemaniku menjalani hidup yang mengerikan ini.
Tepat tiga tahun pernikahan aku dan mas Rian. Hari dimana aku mencurahkan segenap keberanianku untuk mengakhiri janji suci kami. Mataku menyapu sekeliling dan terhenti pada pohon mawar di halaman depan. Pohon mawar itu terlihat mulai layu. Dedaunannya berguguran. Pasrah diterbangkan angin. Pohon mawar itu seakan ikut merasakan kepedihanku saat ini.
Yippee!!!
rOMa Pakpahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih untuk beringan hati memberikan komentar :)