sumber: www.lideadwi.wordpress.com |
Di usia 3 tahun, Sigi harus menerima kenyataan pahit.
Ibunya meninggal karena kanker. Sigi pun hanya
memiliki sosok ayah. Sigi kecil begitu bersemangat jika tiba hari Sabtu. Saat itu waktu baginya
bisa bermain bersama ayah. Banyak keseruan yang dilakukan bersama ayah, berenang,
bersepeda dan membaca. Sungguh hari yang menyenangkan.
Hingga kini di usia 23 tahun, ayah masih tetap
menjadi sahabat terbaik. Sigi masih tetap gadis kecil ayah. Hingga tiba saatnya ada laki-laki yang akan menggantikan peran ayah untuk menjaga Sigi. Tampak jelas terlukis rasa cemburu di wajah ayah. Saat Sigi
menghabiskan waktu liburnya bersama Gilang, kekasihnya.
“Ayah kok sekarang dicuekin? Mentang-mentang ngga
seganteng Gilang,” canda ayah di suatu sore.
“Ayah tenang aja, deh. Ngga ada yang bisa
menggantikan tempat ayah di hati Sigi. Biar Gilang sekalipun,” jawab Sigi
memeluk ayah dengan penuh kasih.
“Gilang, laki-laki baik dan santun. Ayah ikhlas jika
suatu saat harus pergi. Ayah ikut berbahagia melihat kebahagiaanmu, nak.”
Di sebuah ruangan rumah sakit, ayah dan Sigi sedang
berhadapan dengan dokter. Dunia terasa gelap saat mendengar penjelasan dokter
mengenai penyakit yang diderita ayah saat ini.
“Ayah anda terkena Alzheimer. Suatu penyakit yang
menyerang bagian otak. Mematikan sel saraf. Sehingga penderita mengalami
kepikunan yang akut. ”
“Apa bisa disembuhkan, dok?”
“Sampai saat ini belum ditemukan obat bagi penderita
Alzheimer. Kepikunan itu perlahan akan membuat ayah anda melupakan banyak hal.
Termasuk anda sebagai putrinya.”
Tak kuat Sigi menahan air mata yang telah membendung
di pelupuk matanya.
Hari-hari berubah menjadi sendu. Tingkah ayah menjadi
aneh. Sering marah tanpa alasan yang jelas. Ayah yang periang kini lebih banyak
berdiam diri. Seakan sibuk dengan dunianya sendiri. Sigi rindu ayah yang dulu.
Penyakit ayah semakin parah. Namun Sigi tetap sabar merawat ayah. Seperti dulu
ayah penuh kasih sayang dan kesabaran merawat dirinya.
“Hai, kamu siapa?” Pertanyaan itu yang selalu membuat
hati Sigi pedih bagai diiris sembilu. Ayah telah melupakan Sigi. Putri
semata wayangnya. Memori kebersamaan mereka seakan terhapus. Tak tersisa
sekeping juga. Tidak satu pun ayah ingat. Bila Sigi mencoba untuk mengingatkannya,
justru membangkitkan amarah ayah. Sigi pasrah.
Senja itu, Sigi membawa ayah ke dokter karena
keadaannya sangat mengkhawatirkan. Perawat memasang beberapa selang di tubuh
ayah. Sigi tahu itu sangat menyiksa. Tapi Sigi ingin melakukan yang terbaik
untuk ayah.
Seminggu sudah
ayah koma. Sigi selalu berada di samping ayah. Siang itu, Sigi tertidur karena kelelahan.
Tiba-tiba ia merasakan ada tangan yang membelai rambutnya dengan lembut. Belum
juga Sigi tersadar sepenuhnya dari tidur. Sigi mendengar kalimat yang sangat dirindukannya.
“Ayah sayang Sigi.” Sigi terlonjak mendengarnya. Ayah
bisa mengingat dirinya. Ada rasa haru tersemat di hati Sigi.
“Sigi juga sayang ayah.” Dipeluknya ayah. Erat. Namun suasana haru itu terjadi begitu singkat.
“Ayah harus pergi sekarang, nak. Jaga dirimu.” Itu pesan ayah.
Dan ayah pun menghembuskan nafas terakhirnya. Sigi menangis histeris.
Tampak kedamaian di wajah ayah. “Sigi sayang ayah.
Selamat jalan, ayah,” ucap Sigi di sela-sela isak tangisnya.
Yippee!!!
rOMa Pakpahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih untuk beringan hati memberikan komentar :)